BEBERAPA FAKTOR KETIDAKLULUSAN SISWA



Pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) SMP yang dilaksanakan Sabtu 14 Juni 2014, mengingatkan kembali suasana pengumuman hasil UN SMA/MA yang terlebih dulu dilaksanakan. Saat itu, beberapa guru langsung menangis begitu kepala sekolah menyampaikan beberapa anak didik tidak lulus. Sedih sudah pasti, lebih menyakitkan ketika beberapa siswa tidak lulus merupakan siswa berperilaku baik, meskipun dalam hal kognitif berada agak di bawah siswa lain.

Sebagai guru, ketidaklulusan siswa merupakan tamparan keras dan menyakitkan, mengingat hal tersebut akan dikaitkan dengan kinerja guru. Kritikan boleh dan sah dilontarkan kepada guru ataupun sekolah, tetapi harus dipahami banyak faktor penyebab ketidaklulusan siswa, misalnya, rendahnya motivasi belajar. Artinya, bukan berarti gurunya yang tak becus. Sebaik apa pun guru dalam memberikan pelajaran, jika motivasi siswa rendah maka pembelajaran yang dilaksanakan tidak akan ada artinya.

Dari banyak alasan penyebab rendahnya motivasi belajar siswa, fakta bahwa tahun sebelumnya kelulusan kakak tingkat hampir selalu seratus persen. Padahal, tingkat belajar rendah dan sikap pun tidak bisa dibilang baik. Hal ini menjadi pandangan negatif bagi adik tingkat, karena mereka beranggapan bahwa dengan atau tidak belajar, dengan atau tidak bersikap baik, mereka tetap akan lulus dengan mudah.

Harus lebih arif melihat ketidaklulusan siswa karena di samping dampak negatif yang ditimbulkan, sebenarnya ada juga dampak positifnya terutama bagi adik tingkat. Dengan adanya siswa yang tidak lulus apalagi jumlahnya cukup banyak, tentu akan menimbulkan dorongan dan motivasi lebih tinggi bagi adik tingkat dalam mengikuti pembelajaran. Karena, pandangan yang selama ini tertanam, tidak belajar dan bersikap kurang baik tetap lulus, telah terpatahkan.

Meski demikian, akan jauh lebih baik tentunya jika kelulusan seratus persen memang hasil dari belajar dan sikap baik. Tetapi, harus disadari bahwa lain sekolah, tentu lain pula permasalahan/penyebab ketidaklulusannya.

Selain motivasi siswa yang harus mendapat perhatian, faktor kerja sama guru/sekolah, orang tua dan pemerintah sangat diperlukan untuk menekan tingginya angka ketidaklulusan siswa. Bagi guru ketidaklulusan siswa seyogyanya menjadi pelajaran berharga agar nantinya bisa lebih meningkatkan kualitas pembelajaran.

Guru harus lebih intensif dalam memberikan bimbingan. Siswa yang dianggap mempunyai kesulitan belajar harus mendapat perhatian lebih, sehingga dapat mengatasi kesulitan belajarnya.

Sekolah harus berani membuat kebijakan yang “memaksa” siswa untuk selalu mengikuti kegiatan pembelajaran tambahan yang diberikan. Jangan sampai pelajaran tambahan yang diberikan hanya dihadiri oleh beberapa siswa, dan sekolah tidak berani mengambil tindakan tegas.

Orangtua juga harus memberikan perhatian lebih pada kesiapan anak dalam menghadapi ujian nasional. Jangan sampai ketika anaknya tidak ikut les, orang tua membiarkan saja. Atau ketika guru ingin membicarakan kemajuan/kesulitan belajar anak, enggan memenuhi undangan guru.

Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan juga memegang peranan penting penyumbang kelulusan atau ketidaklulusan siswa. Dinas Pendidikan tentu memiliki mapping sekolah mana saja yang patut mendapat perhatian lebih, terkait ketidaklulusan siswa. Guru di sekolah berpotensi menyumbang ketidaklulusan tinggi, harus lebih sering diberikan pendidikan dan latihan (diklat), khususnya mata pelajaran yang dianggap berpotensi besar menjadi menyumbang angka ketidaklulusan.

Jangan sampai diklat yang dilaksanakan hanya pada sekolah itu-itu saja, atau guru itu-itu saja sehingga pada akhirnya membuat guru lain seperti katak dalam tempurung, tidak tahu perkembangan. Khususnya sekolah pinggiran, ke depannya diharapkan mendapat perhatian khusus dari Dinas Pendidikan terkait diklat, sehingga bisa menekan angka ketidaklulusan yang tinggi.

Faktanya, ujian nasional memang banyak menimbulkan dampak negatif, meskipun hal ini tidak serta merta harus ditiadakan. Ujian nasional perlu, tetapi dengan beberapa perbaikan. Misalnya, tidak menggunakannya sebagai dasar kelulusan siswa.

Salah satu dampak negatif ujian nasional adalah guru dan sekolah hanya fokus dan intensif membelajarkan mata pelajaran yang diujikan dalam UN. Sedangkan mata pelajaran lain kurang mendapat perhatian. Hal ini berimbas kepada siswa yang menjadi kurang termotivasi untuk mengikuti mata pelajaran lain, selain yang diujikan dalam UN. Akumulasinya sekolah berubah menjadi mesin cetak yang harus mencetak siswa berdasarkan standar yang disyaratkan tanpa mengindahkan sisi humanisme.

Dulu pendidikan memang fokus pada konsep intellegence quotient (IQ), tetapi saat ini dunia pendidikan sudah mengenal konsep multiple intelligences yang tidak hanya mengakui intelegensi seseorang dari satu kemampuan, melainkan delapan yaitu logical-mathematical, linguistic, musical, spatial, bodily-kinesthetic, interpersonal, intrapersonal dan naturalis. Delapan intelegensi ini mewadahi seluruh kemampuan manusia yang bisa saja lemah dalam satu kemampuan tapi kuat dalam kemampuan yang lain.

Jika dikaitkan dengan ujian nasional yang hanya mewadahi aspek kognitif, maka hal tersebut jelas merupakan ketidakadilan potensi karena menilai manusia hanya dari satu kemampuan.

Padahal, jika kita kaitkan dengan kurikulum 2013 yang menekankan pada penilaian akhlak/sikap dan penilaian otentik, maka ujian nasional jelas bertentangan. Seharusnya dengan diterapkannya kurikulum 2013, maka ujian nasional tidak lagi menjadi dasar kelulusan siswa. Lebih tepatnya “hanya” sebagai pemetaan kualitas antarsekolah, antarkabupaten, maupun antarprovinsi.

Jika mau jujur, sekolah yang meluluskan siswanya seratus persen sebenarnya tidak menunjukkan kualitas sekolah sangat baik atau baik. Hal ini disebabkan kelulusan tersebut bisa saja karena “dongkrakan” nilai sekolah yang sangat tinggi. Padahal, jika kita cermati nilai ujian nasionalnya tidak jauh berbeda dengan sekolah yang siswanya banyak tidak lulus.

Hal inilah yang seharusnya membuat pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional insyaf bahwa ujian nasional tidak tepat digunakan sebagai dasar kelulusan siswa, karena berpotensi menimbulkan kecurangan. Ujian nasional sebagai pemetaan kualitas antarsekolah adalah solusi, karena logikanya kelulusan tidak bisa ditentukan dalam tiga hari. Selain itu, pendidikan harus menghargai seluruh kemampuan siswa, bukan satu kemampuan semata.(http://banjarmasin.tribunnews.com)
Oleh: M Syamsuri MPd
Guru SMAN 2 Kintap, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

0 Response to "BEBERAPA FAKTOR KETIDAKLULUSAN SISWA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel